Advertisement
Aku.
Manusia yang kukira
paling menyedihkan di dunia. Yang acap membandingkan diri dengan kehidupan
oranglain. Yang acap merendahkan diri dan menganggap my life is useless dengan rajin.
Yang acap bertanya, “Kapan bahagia?”disela sadness, depression, overthinking, & anxiety yang merangkul
batin. Yang berulangkali dihampiri keraguan untuk mundur dan tersungkur, maju
dan melaju, atau malah memilih diam seperti manekin.
Aku.
Manusia yang sempat
lupa akan keberadaan Tuhan. Yang dengan tak tahu diri menyalahkan takdir dengan
tak sungkan. Yang dengan tak tahu diri berlagak
mengusir masalah namun tak ada tindakan. Yang dengan tak tahu diri
mengabai nyata dan bermain dalam perandaian. Yang dengan tak sadar diri tak mau
mengakui bahwa sebenarnya akulah si pemupus harapan, dengan pemikiran bodoh
sempat tak sanggup bertahan, dari fase ujian yang kebetulan singgah namun lupa
jika hidup itu selalu penuh akan kejutan.
Aku.
Manusia yang sedikit
enggan melihat sekeliling. Hingga akhirnya bertemu dia yang membuat mata ini
enggan pula untuk berpaling. Dia yang kini tengah memijat kepalanya yang
katanya pening. Yang berujar lelah namun tubuhnya tak mau berbaring. Yang
menghembus napas berat disela senyuman paksa yang tersungging. Yang memejam
mata sejenak, berkutat dalam tenang, namun ternyata pikirannya luntang-lanting.
Yang hatinya sebenarnya sedang tidak baik, namun berpura-pura baik selayaknya
bintang tv yang tengah berakting.
Dia.
Mau kuceritakan
perihalnya?
Oh dear myself, I am sorry because I hurt you everyday. Rasanya semacam ada tamparan tak kasat yang menampar
kedua pipiku dengan keras. Karena sebenarnya dari yang sebenar-benarnya, ada
manusia lain yang kisahnya lebih menyedihkan dari kisahku. Yaitu dia.
Iya, dia.
~
~
~
__
Tuhan punya rencana, peluhmu akan buyar, lelahmu
terbayar, dan bahagia datang berlayar.
__
Setelah lulus dan
menerima selembar ijazah, dunia yang sesungguhnya baru akan dimulai. Aku pikir
kehidupan selepas masa SMA sangatlah menyenangkan. Siapa sih yang tak antusias
beranjak menuju fase dewasa? Dimana rata-rata dari mereka tentu sudah
menyiapkan diri untuk masa depan yang akan mereka sambut dengan penuh rencana,
hidup di dunia perkuliahan contohnya.
Lulus SMA, kuliah,
kerja. Itu adalah siklus yang biasanya manusia kejar. Yang katanya akan sukses
di mata sosial. Karena pada dasarnya, gelar Sarjana mampu membuat mulut-mulut
masyarakat meracau pujian, dipandang baik, serta diperlakukan istimewa.
“Bu, aku ingin kuliah.”
“Silakan nak, tapi,”
Ibu tidak bisa melanjutkan ucapannya. Sedangkan aku sudah tahu apa
kelanjutannya.
“Iya bu, ibu
mencemaskan adik, kan?”
Aku sedikit memaksa
diri untuk tersenyum disela hatiku yang menyendu. Aku tahu ibu selalu
mendukungku, namun akupun tahu jika ibu tak akan sanggup membiayai kuliahku.
Sedih? Apa iya harus
ditanyakan lagi bagaimana kondisiku saat ini? Kau sudah tahu jawabannya, bukan?
Mungkin jawabanmu
sedikit kurang tepat jika kau menjawab aku sedih, karena nyatanya, aku luar
biasa sedih. Mimpiku terhenti, rencana-rencana akan masa depan yang kususun
dengan rapi harus kandas, ekonomi keluarga penyebabnya.
Seketika aku benci
menjadi miskin.
Memang ada jalan lain,
yaitu mengejar beasiswa. Tapi percayalah, aku ini bukan anak pintar yang
hobinya mengoleksi berbagai penghargaan. Bukan pula anak yang selalu menjamah
ranking 3 besar. Peluangku terlampau sedikit, membuatku merangkul pes7imis.
“Maafin ibu ya?”
Aku tidak berani
menatap ibu, aku hanya menerawang ke depan, menyembunyikan rintik yang
bersikeras jatuh di pelupuk mata.
“Tidak apa-apa, bu. Aku
kan anak sulung, tanggungjawabku besar untuk membantu ibu. Jadi ibu tak perlu
minta maaf, oke?”
Wajahku penuh dusta
sekarang, berpura baik-baik saja disaat hati ini merasakan sebaliknya.
“Aku akan ke BKK
sekolah besok untuk mendaftar pekerjaan, doakan ya bu agar semuanya berjalan
lancar.”
Ibu membawaku ke dalam
pelukan hangat. Dimana detak jantung ibu seakan memberiku kekuatan.
“Tanpa kamu minta pun
doa seorang ibu tidak akan pernah berhenti untuk anaknya.”
Baiklah, mari berhenti
menjadi egois. Merelakan mimpimu bukan berarti kau menyerah. Kau hanya
mengalah, pada takdir Tuhan yang sedang mengajakmu bercanda.
Mimpimu tidak usai,
mimpimu hanya sedang rehat. Jadi mari susun rencana lain sebab hidupmu belum
terhenti hanya karena rencana lawasmu tersendat.
~
~
~
“Aran!”
Dia yang kupanggil
menoleh. Sosok laki-laki yang menjabat sebagai adik kelasku sekaligus
tetanggaku, menaikkan satu alisnya sebagai pertanda jika ia tengah dilanda
bingung. “Kak Ren disini?”
“Memangnya alumni tidak
boleh menginjakkan kaki di sekolah ini?”
“Bukan, bukan itu
maksudku—“
“Hahahaha aku disini
untuk mendaftar pekerjaan di BKK. Aku sudah menjawab pertanyaan di otakmu yang
tidak tersampaikan dengan baik oleh mulutmu.”
Aran hanya terkekeh.
Sedang aku beralih menatap tangannya yang nampak menggenggam sebuah map
berwarna merah.
“Apa itu?”
“Map.”
“Hei, aku bertanya
tentang isinya.”
“Jawabanku tidak salah
dong, lihat, ini map,” ia menodongkan mapnya di depan wajahku, “pertanyaanmu yang kurang jelas,kak.”
Okey okey akan kuulangi
pertanyaanku dengan intonasi yang lebih lambat.
“Itu map berisi apa,
Aran?” lagi-lagi ia terkekeh.
“Kenapa perempuan itu
suka sekali kepo ya?” ujarnya seraya membuka map miliknya yang ternyata berisi
sekumpulan piagam penghargaan.
“Wahh.” Sontak mataku
berbinar takjub. Berdiri di sampingnya seperti ini tiba-tiba membuatku rendah
diri. Dia anak yang berprestasi, pasti masa depannya akan sangat baik. Sedang
aku? Anak biasa saja yang jangankan berpikir masa depan, bermimpi saja pun
rasanya tak pantas.
“Mau diapakan
piagam-piagam itu?”
“Dibakar.”
“Hah?”
“Bercanda hehe.”
Anehnya ketika Aran mengatakan itu, aku tak menjumpai wajahnya yang melawak
atau sekadar melontar kata asal. Apa yang ia katakan seolah merupakan
kejujuran.
Lantas aku menyelami
bola matanya untuk memastikan bahwa ucapannya benar-benar hanya candaan belaka
atau spontanitas yang tidak berdusta. Namun nihil, yang ada ia memalingkan
wajahnya malu karena kutatap sedemikian lekat.
“Jangan menatapku
begitu kak, nanti kalau sampai baper
kan gawat.”
“Tenang, aku tidak
mungkin menyukai anak kecil sepertimu.”
“Mana ada anak kecil
yang tingginya melebihimu.” Ia mensejajarkan tubuhnya denganku dan ya, tinggiku
tak melebihi dadanya. Tapi wajarlah! Dia kan laki-laki, seorang atlet pula!
“Puas sekali ya kalau
mengejekku,” aku memasang wajah cemberut, sedang ia tertawa terbahak-bahak,
namun tidak dengan matanya.
Matanya redup.
Itu kata mataku yang
melihatnya.
~
~
~
Kami, aku dan Aran
bertemu kembali di jam istirahat kedua.
Bukan kebetulan, sih.
Kami memang sempat menutur janji, sebab ada hal yang ingin aku bicarakan dengan
dia.
“Bagimana tes
kerjanya?” ia memulai topik setelah kami memesan minuman di kantin. Aku memesan
es teh sedang dia memesan es kopi.
“Lancar. Minggu depan
wawancara. Jika lolos, aku akan berangkat ke Jakarta.”
Aku menghembuskan napas
panjang, sedikit lega karena selangkah lagi
aku akan melepas titel pengangguran. Memang ini kan tujuanku masuk SMK?
Langsung kerja setelah lulus, langsung kerja tanpa harus dapat gelar sarjana
kampus.
Aku mencium wangi teh
tanpa gula ini. Rasa hambarnya menggelitik lidah, segar es nya mengusir dahaga.
Membuatku sedikit melupa akan hati yang masih belum sepenuhnya ikhlas untuk
melepas,mimpi yang bahkan belum sempat berpapas, tapi terlampau jauh untuk
kugapai hingga terpaksa kuhempas.
“Kukira kamu hendak
kuliah.”
“Bahkan bermimpi kuliah
saja aku tidak layak.”
“Oh.”
Hanya itu tanggapannya?
Ia tidak bertanya mengapa, um maksudku, ia tidak penasaran akan jawabanku?
“Aku tidak bertanya
mengapa karena jika kamu percaya padaku, kamu akan bercerita tanpa aku pinta.”
Hei, dia membaca isi
pikiranku.
“Atau kamu ingin
mendengar ceritaku terlebih dahulu?”
“Tentang?”
“Hal yang rahasia.”
“Kamu percaya padaku?”
“Tentu, aku melihat
luka yang sama di matamu.”
Aku membisu.
“Bedanya, kamu memilih
bangkit. Sedangkan aku memilih mati…”
~
~
~
Don’t worry about the future, Allah has already
planned for it.
Seharusnya aku yakin
akan itu, tapi bagaimanapun juga aku ini manusia. Sempat dihampiri kecemasan
akan masa yang akan datang, dan ketakutan akan hal-hal yang tak diinginkan.
I still have hopes and I won’t waste it.
Semenjak aku mendengar
cerita Aran kala itu, aku menjadi berkali lipat bersyukur atas takdir Tuhan
yang ternyata tidak selamanya buruk. Tuhan memberikan ujian pada hamba-Nya
sesuai kadar kemampuan si hamba. dan tentu ujian hidup yang sedang aku alami
ini diberikan oleh Tuhan karena Tuhan tahu, jika aku dapat melaluinya. Tuhan
tahu aku kuat.
Jadi putus asa adalah
kata yang tidak mungkin terdaftar dalam kamus otakku, seharusnya.
Wah, aku benar-benar
dapat hidayah dari cerita Aran. Karenanya aku bisa memandang sisi dunia yang
lain, bahwa ada yang tidak lebih beruntung dariku. Seharusnya aku malu,
bukannya mengeluh melulu. Harusnya aku bersyukur, bukannya bersikap kufur.
Kring… kring…
Handphone ku bordering
menampilkan panggilan masuk dari Aran.
“Halo?”
“Tanganku berdarah.”
“Huh? Bagaimana bisa?”
“Aku bermain pisau
hehehe.”
“Astaga kamu kurang
kerjaan ya? Sudah diobati?”
“Belum.”
“Lah kok belum?”
“Kalau diobati nanti
aku tidak jadi mati.”
“Aran!”
Bip.
Aku memutus sambungan
telpon dengan perasaan kesal sekaligus khawatir.
Dia sudah gila? Kenapa
dia mencelakai dirinya sendiri? Dia ingin bunuh diri?
Aku mengambil sebuah
cardigan dan lekas mengenakan jilbab. Dengan langkah tergesa kakiku berlari
keluar untuk menghampiri Aran sampai lupa berpamitan pada ibu yang tengah
memasak di dapur.
Aku mengotak-atik handphone-ku untuk mencari kontak
laki-laki itu lalu segera menekan symbol berbentuk telepon.
“Sial kenapa tidak
diangkat-angkat?”
Aku semakin panik,
langkahku tak beraturan hingga berulangkali hendak menabrak orang yang berlalu
lalang. Jarak rumahku dengan rumahnya memang bisa ditempuh tanpa kendaraan,
namun entah kenapa rute ini terasa berkali lipat lebih panjang dari yang
seharusnya.
Aran mengabaikan
panggilan dariku. Membuatku semakin ingin sampai dan mengomelinya atas tindakan
bodohnya itu.
Bangunan putih
berukuran sedang dengan pohon manga di depannya sudah mulai terlihat. Ya, itu
rumah Aran.
Aku mengambil jalan
memutar karena kamar Aran. berada di sisi belakang. Setibanya di depan jendelanya,
tanganku mengetuk sembari menyuarakan namanya.
“Aran!”
Tidak ada sahutan.
“Ran!”
Tidak ada sahutan, lagi.
Berkali-kali sudah aku
memanggilnya, apakah kamarnya kosong?
Sesaat ketika kecemasan
menggerogotiku lebih dalam, jendela itu terbuka, bersamaan dengan bunyi derit
kayu dan kepala yang menyembul.
“Kak Ren?”
“Kamu masih hidup?
Alhamdulilah.”
~
~
~
Aku mengobati tangan
kirinya yang terluka. Untung saja luka goresnya tidak dalam, tidak sampai
mengenai urat nadinya.
“Dasar anak nakal,”
gerutuku sembari mengoleskan obat merah dengan hati-hati.
“Aku hanya sedang butuh
hiburan untuk menertawai diriku sendiri. Ternyata menyenangkan, pantas saja
mereka suka menertawakanku.”
“Cukup mereka saja yang
menjahatimu. Kamu jangan jahat pula pada dirimu sendiri.”
“Hehe, ternyata lukanya
tidak sesakit luka di hatiku.”
“Sekarang puas?”
Aran menggeleng. “Harusnya pisauku lebih tajam, agar bukan hanya ada luka,
tapi berita duka.”
“Ran!” kali ini aku
tidak tahan lagi untuk mengontrol emosiku. Aku meneriakinya, bersamaan dengan
bulir bening yang meluncur di kulit pipi tanpa izin.
“Kamu menangis.”
“Ya. Kamu penyebabnya.”
“Maaf.”
“Minta maaflah pada
dirimu sendiri, Ran.
Kamu yang menghancurkan dirimu sendiri. Meluluhkan mimpimu dengan berhenti sekolah, membakar piagam hasil jeri payahmu, mengasingkan diri, bahkan berniat bunuh diri!
Kamu yang menghancurkan dirimu sendiri. Meluluhkan mimpimu dengan berhenti sekolah, membakar piagam hasil jeri payahmu, mengasingkan diri, bahkan berniat bunuh diri!
“Minta maaflah pada
dirimu sendiri, Ran. Yang menyerah akan hidup, pasrah akan takdir, dan tidak
melakukan apa-apa untuk menjadi baik-baik saja!
“Aku tahu, kamu sedang
melalui fase berat dalam hidup. Siapa yang bersedia menjadi anak dari ayah
tukang berzina? Siapa yang tidak sedih saat hinaan dan cacian masyarakat terus
memukulmu? Siapa yang tidak malu menerima aib keluarganya di hadapan
teman-teman? Siapa yang sanggup tak diacuhkan oleh sosial akibat kesalahan yang
bahkan tak diperbuat?
Aku tahu, kamu sedang
berada di titik terendah dalam hidup. Merasa tidak berguna hingga benci telah
dilahirkan.
Tapi apa jika kamu mati semuanya selesai? Apa jika kamu mati segala perjuanganmu selama 17 tahun usiamu, kerja kerasmu dalam membangun mimpi-mimpimu, serta upayamu untuk hidup dengan layak tidak sia-sia? Apa jika kamu mati, Tuhan akan menerimamu? Apa jika kamu mati, ibumu akan bahagia? Tidak.
Tapi apa jika kamu mati semuanya selesai? Apa jika kamu mati segala perjuanganmu selama 17 tahun usiamu, kerja kerasmu dalam membangun mimpi-mimpimu, serta upayamu untuk hidup dengan layak tidak sia-sia? Apa jika kamu mati, Tuhan akan menerimamu? Apa jika kamu mati, ibumu akan bahagia? Tidak.
Tuhan percaya kamu
kuat, untuk itu Dia memberimu ujian. Tuhan itu adil, dibalik ini semua Dia
sudah menyiapkan kejutan. Semua hanya perihal waktu!
Dan aku percaya kamu
kuat, untuk itu aku ada disini, untukmu, menjadi seseorang yang bisa kamu
jadikan sandaran. Telingaku bisa mendengarkan segala keluhanmu ketika kamu
jenuh, bibirku bisa melontarkan kalimat penyemangat ketika kamu rapuh, dan tanganku bisa membantumu bangkit
ketika kamu jatuh.
Sekarang yang kamu
butuhkan adalah kepercayaan dalam hatimu sendiri. Kamu percaya kamu bisa tumbuh
dari luka, maka semesta akan turut percaya. Tidak apa kamu menangis, karena air
mata itu bukti jika kamu adalah manusia, bukan benda mati yang tak bernyawa.
Tidak apa kamu sempat hancur, asalkan tidak lagi ragu untuk melangkah
meneruskan alur. Hidup itu adalah perjalanan, Ran.”
Aku tidak menyangka
telah berbicara sepanjang itu,seemosional itu, dan sebijak itu. Semantara Aran
kini tengah menunduk. Hei, dia tidak tertidur, kan?
“Terimakasih kak.”
Aran mengangkat
wajahnya, bibirnya menyunggingkan senyum yang tampak sangat tulus, begitupula
matanya.
“Jika tadi aku mati,
mungkin aku sudah di neraka kali ya? Hahaha.” Ia tertawa hambar seraya mengusap
luka di tangannya yang sudah tertutupi perban.
Eh? Sejak kapan lukanya
dibalut perban? Kurasa aku belum selesai mengoleskan obat merahnya tadi.
“Kak, mari kita
berjuang untuk masa depan kita.” Syukurlah, anak ini sudah sadar jika keputusan
yang ia ambil untuk mati adalah keputusan yang salah.
“Tentu, aku akan
bekerja demi mimpiku membiayai kuliahku sendiri tahun depan. Dan kamu
melanjutkan sekolah demi meneruskan mimpimu menjadi atlet nasional.”
“Ada lagi selain itu.”
“Apa?”
“Masa depan kita di
pelaminan kak.”
“Ngaco!”
“Hahahaha …”
“Kamu sudah tidak benci
rumah kan?
Disini tempatmu lahir dan besar. Jangan hanya satu hal buruk kamu melupa kenangan indah di dalamnya.”
Disini tempatmu lahir dan besar. Jangan hanya satu hal buruk kamu melupa kenangan indah di dalamnya.”
“Tidak. tapi aku masih
benci ayah.”
“Silakan, aku yakin,
disini, masih ada sedikit rasa sayang untuk ayahmu.” Aku menunjuk ke dadanya.
“Meski dia tidak patut
diteladani anaknya?”
“Ya. Seburuk apapun
ayahmu, tanpa beliau kamupun tidak mungkin ada di dunia ini.”
“Benar, aku jadi sayang
kamu.”
“Ngaco lagi!”
Cerpen oleh: Sholehah