Advertisement
Aldy Yufana, pelajarnu-bara.or.id- Kita akan mengawali
perbincangan mengenai pemikiran seorang tokoh sastrawan dan penulis ulung
Indonesia. Kata-katanya menjadi rujukan inspiratif berbagai kalangan, salah
satu quotes (begitulah kalangan milenial menyebutnya) yang terkenal adalah “Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, begitulah
quotes dari Pramoedya Ananta Toer yang memandang sebuah tulisan atau karya sebagai
sarana keabadian.
Kenapa menulis
adalah pekerjaan untuk keabadian? Benarkah dengan menulis, manusia dapat abadi
selama-lamanya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap muncul dalam benak
pikiran, bagaimana mungkin sebuah tulisan membuat manusia abadi. Mari kita
tegaskan kembali quotes dari seorang Pramoedya, menulis bukanlah semata-mata
seperti kita menulis sebuah pesan ataupun status di media sosial. Dari quotes
Pram tersebut, seharusnya kita mengetahui bahwa menulis memanglah sarana untuk
mencapai keabadian.
Sebagai kalangan
milenial, alangkah baiknya kita memandang quotesnya Pram sebagai teguran dan
bentuk keprihatinan beliau, ketika melihat pemuda zaman sekarang lebih gemar
menghabiskan waktunya dalam menggapai kenikmatan yang sementara. Pemuda-pemudi
menanggalkan penanya, mengosongkan kertas putihnya, bahkan menutup buku
bacaannya. Karena itulah, penting untuk kita menggali kembali pemahaman tentang
“menulis” dari seorang Pramoedya yang awalnya kita tidak mengetahui asal
usulnya, namun, melalui karya-karyanya kita dapat menjadi tahu akan pemikiran
dan ide-idenya yang tetap abadi melintasi perubahan zaman.
Berawal dari kebiasaan membaca lambat laun
menjadi sebuah sarana untuk ber-literasi, bacalah apapun yang mengandung
unsur pengetahuan. Melalui bacaan kita akan memahami sebuah tulisan. Setelah
paham akan sebuah tulisan, mulailah beranikan diri untuk mencoba sedikit demi
sedikit untuk menulis, tulislah apapun segala yang ada dalam benak pikiran.
Bahkan, Imam besar Al-Ghazali menegaskan bahwa “Kalau dirimu bukan anak
seorang raja, dan kamu juga bukan anak seorang ulama besar, maka jadilah
penulis”, marilah kita budayakan ber-literasi demi menjaga sebuah
eksistensi dan jati diri.
Kita analogikan
apabila tidak menulis ataupun tidak berkarya, apakah kita hendak menjadi orang-orang
biasa yang “tersapu” arus perubahan zaman? Apakah kita hendak tergilas oleh
arus sejarah? Kita bandingkan dengan tokoh-tokoh besar dunia, seperti Soekarno
ataupun Sokrates yang sudah sangat jauh waktu melewatinya, mereka hingga
sekarang tetap dikenal banyak orang. Namanya tetap abadi, karena mereka berani
bergerak melawan arus “kenikmatan sesaat” sehingga menghasilkan karya-karya
yang begitu memikat.
Masihkah kita enggan
untuk menulis? Coba tanyakan pada lubuk hati, apakah kita diciptakan hanya sebatas
“peran pembantu” dalam sebuah cerita, pikirkanlah bahwa kita diciptakan sebagai
“pemimpin” yang artinya adalah pimpinlah dirimu sendiri, pimpinlah hatimu,
pimpinlah jiwamu untuk melawan keburukan dalam dirimu sendiri. Kita akrab
dengan berbagai quotes tokoh-tokoh besar dunia, tetapi berat untuk
menjalankannya. Karena itulah, berpikir menjadi sangat penting untuk
menunjukkan bahwa eksistensi dirinya selalu terjaga. Senada dengan perkataan
Rene Descartes yang mengatakan bahwa “cogito, ergo sum-aku berpikir karena
itu aku ada”.
Berpikirlah maka aku
ada, kata-kata yang sangat menyindir manusia modern ini, di mana banyak tindak
tanduk yang tidak dilandasi dengan pemikiran dan perenungan terlebih
dahulu. Sehingga menimbulkan desas desus kebencian antar sesama, yang kemudian
disibukkan dengan saling membenci dan lagi-lagi menanggalkan budaya ber-literasi.
Sibukkanlah diri ini untuk mencapai kebaikan dan kemuliaan hidup, salah
satunya ya dengan menulis. Melalui tulisan, kita menjadi sibuk bermain-main
kata dan memutar-mutar imajinasi sehingga tidak ada waktu senggang untuk
berlomba-lomba membenci dan menebar keburukan antar sesama manusia.
Pelbagai
perbincangan mengenai menulis dan berpikir di atas, kita akan sampai pada suatu
pemahaman bahwa, apabila manusia dapat memaksimalkan potensi akal pikiran lalu
ia realisasikan segala pikiran dan idenya dalam sebuah tulisan maka ia akan
abadi walaupun jasadnya tertimbun dalam palung bumi. Segala sarana sudah
didapatkan dengan adanya akses yang mudah melalui media internet, karena itu,
mulai sekarang, budayakan ber-literasi agar hidup tidak begitu monoton
dan mati tidak hanya menjadi sebuah “tontonan”. Kita akhiri dengan sebuah
quotes dari ulama besar Indonesia atau lebih dikenal dengan nama HAMKA (Haji
Abdul Malik Karim Amrullah), beliau mengatakan “Kalau hidup sekadar hidup,
kera di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kerbau di sawah juga
bekerja”. Salam Literasi.
ditulis oleh : Aldy Yufana/IAIN Salatiga