Advertisement
Aldy Yufana, pelajarnu-bara.or.id-
“Alhamdulillah pekerjaan
berjalan lancar, pulang ke kontrakan enaknya bawa apa ya? Tak terasa hari-hari
Desember pada tahun ini berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sempat
menyiapkan surprise untuk hari istimewa saudaraku”. Begitu aku bergumam
dalam hati, sambil berjalan pulang menyusuri trotoar malam di Salatiga. Melihat
lalu lalang kendaraan yang memancarkan cahaya keindahan dan sesekali membunyikan
dering bising. Malam itu, merupakan malam perayaan hari besar saudaraku, Samidi
namanya. Dia menyewa kontrakan denganku dan setiap tahun kami patungan untuk
membayar sewanya. Tahun ini adalah tahun pertama dia merayakan hari besarnya di
Salatiga, lantaran ada tugas penting yang harus dikerjakan, karena itulah, dia
tidak bisa pulang ke rumah dan merayakan hari besarnya bersama keluarga.
Setapak demi tapak
aku berjalan pulang sambil memikirkan barang bawaan untuk saudara di kontrakan.
Namun, alih-alih dapat barang bawaan malahan keburu sampai di kontrakan dan aku
pun tidak dapat menemukan sesuatu yang berkesan untuk Samidi. Alhasil aku
pulang dengan tangan kosong, dan bicara kepada Samidi : “Sam, ... (sedikit lama
aku terdiam) selamat merayakan hari Natal ya. Semoga kamu selalu mendapat kasih
sayang dan kesehatan oleh Tuhan. Sorry nih, aku tidak bisa kasih kamu sesuatu,
soalnya...” belum selesai aku bicara, Samidi lantas menyabar badanku dan
memeluk erat sambil mengucapkan sesuatu : “Terimakasih saudaraku, Ayfana...
do’a darimu lebih dari cukup untukku, kau tak usahlah repot-repot kasih aku
sesuatu. Karena aku tahu, kamu kan belum gajian hahaa.” Kami pun melepas
pelukan dan melepas tawa dengan riang. Malam itu, kami hanya ditemani oleh gorengan
Pak Joko sebelah kontrakan sambil melepas penatnya pekerjaan dan sungguh
menikmati kehangatan dan keindahan malam Natal. Sekali lagi, Selamat Hari Natal
Saudaraku.
Penggalan cerita di
atas adalah penggambaran perasaan saya dalam menanggapi polemik boleh tidaknya
mengucapkan hari Natal bagi kaum muslimin, kalangan umat muslim dalam
menanggapi polemik ucapan hari Natal pun beragam, ada yang pro dan ada yang
kontra. Nah, kali ini penulis akan membahas polemik tersebut, biarlah yang
tidak setuju dan silahkan yang setuju. Jika anda bagian dari yang mengucapkan
hari Natal kepada saudara tetangga lalu ada yang mengkafirkan, maka jangan
dianggap terlalu serius. Seperti tanggapan Gus Dur mengenai dirinya yang
dianggap kafir, beliau pun menjawab “Ya gampang saja, kalau kita dianggap
kafir, tinggal syahadat, sudah Islam lagi”.
***
Kita semua tahu,
bahwa Islam yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad adalah agama yang
toleransi dan penuh kasih sayang. Sejarah menjadi saksi bahwa kepemimpinan
Muhammad SAW di Madinah begitu menonjolkan nilai-nilai toleransi dalam beragama
ataupun menanggapi perbedaan di kalangan sahabat. Bangsa Yahudi yang pada saat
itu begitu membenci Muhammad, bahkan sempat merencanakan pembunuhan kepada
beliau. Nabi Muhammad sadar bagaimana Yahudi di Madinah saat itu adalah
minoritas, beliau bisa saja mengerahkan umat Islam untuk melumat habis Yahudi,
begitu pula perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang memandang Yahudi adalah
bangsa yang harus ditumpas. Tetapi hal tersebut tidak pernah direalisasikan
oleh Nabi Muhammad, karena beliau tahu Islam yang dibawanya adalah agama yang
penuh kedamaian dan kasih sayang untuk seluruh alam sekaligus mengemban misi
untuk kemuliaan manusia.
Karena itulah,
alangkah baiknya sebagai bangsa yang plural (majemuk) tidak perlu debat
berkepanjangan dan saling caci maki lempar sana sini. Mari kita sesama saudara
sebangsa dan setanah air senantiasa menjaga kemajemukan Indonesia dan kesatuan
persatuan di dalamnya. Jangan sampai mengalami pendistorsian sejarah atau
penyelewengan fakta sejarah. Sebagai umat Islam memahami secara mendalam bahwa
agama Islam hadir sebagai rahmat seluruh alam, Islam tidak disebarkan melalui
pedang (seperti pendapat para orientalis barat) justru Islam didakwahkan
melalui kelemah lembutan dan toleransi (tidak ada unsur paksaan). Sebagai
kalangan terpelajar, memahami akar permasalahan sebelum menjustifikasi suatu
perkara adalah penting, sehingga informasi yang didapatkan jauh dari manipulasi
ataupun sebuah distorsi. Penulis tidak bermaksud membuka luka lama mengenai
konflik pasca jatuhnya Presiden Soeharto. Pada saat itu banyak terjadi
pergolakan di belahan Indonesia, seperti yang terjadi di Aceh, Poso, Maluku,
dan Papua.
Pelbagai konflik
baik vertikal (rakyat melawan pemerintah) maupun horizontal (rakyat melawan
rakyat) membuat Indonesia begitu berdarah-darah. Seperti halnya yang terjadi di
Poso, Sulawesi Tengah, konflik horizontal meletus atau biasa disebut dengan
Tragedi Kemanusiaan Poso pada 25 Desember 1998. Pecahnya Konflik Poso terjadi
tidak dapat dipisahkan oleh ketegangan dan gesekan dalam perebutan kursi
pemerintahan atau kursi bupati, namun sangat disayangkan bahwa para politikus
memanfaatkan momentum agama sebagai kambing hitam konflik. Sehingga agama
ditunggangi untuk kepentingan politik, terjadilah konflik Poso antara kaum
Kristen dengan kaum Islam yang berjilid-jilid. Konflik Poso menjadi salah satu
contoh ketika sejarah mengalami pendistorsian, seharusnya momentum agama
dimanfaatkan dengan penuh suka cita, sebaliknya yang terjadi adalah huru hara
dalam menumpahkan darah antar sesama.
Marilah kita pahami
bahwa toleransi antar agama sebagai jalan mencapai kemuliaan sesama manusia,
tanpa perlu saling mencurigai dan langsung menjustifikasi, kembalikan pada diri
sendiri sudahkah kita mengamalkan sila ke-satu Pancasila bahwasanya “Ketuhanan
Yang Maha Esa”? Karena itulah, permasalahan apakah boleh tidaknya mengucapkan
selamat Hari Natal bagi kaum muslim, sebaiknya kita tanggalkan terlebih dahulu.
Mari kita sempatkan waktu sedikit untuk menghargai saudara sebangsa dan setanah
air ini. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengukuhkan kembali sila
ke-dua dan ke-tiga Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab,
serta Persatuan Indonesia.” Perlu dipahami kembali, bahwa “urusan ucapan
‘selamat’ itu hanya soal kesediaan turut senang atas perasaan bahagia orang
lain. Sesederhana itu. Ini Cuma masalah tata krama dan interaksi sosial (muamalah).
Ini bukan masalah keyakinan, akidah, atau teologi.” Seperti itulah ungkapan
dari Prof. Nadirsyah Hosen atau yang akrab disapa dengan Gus Nadir dalam
menanggapi polemik ucapan Natal bagi kaum muslim yang tertulis dalam bukunya
yang berjudul “Kiai Ujang di Negeri Kanguru”.
ditulis oleh : Aldy Yufana/IAIN Salatiga
Editor: Tim Redaksi